KASUS PEMBOBOLAN BAPINDO EDDY TANSIL
RIWAYAT :
Eddy Tansil (lahir tahun 1954) adalah seorang pengusaha Indonesia
keturunan Tionghoa yang keberadaanya kini tidak diketahui. Ia
melarikan diri dari penjara Cipinang, Jakarta, pada tanggal 4 Mei 1996
saat tengah menjalani hukuman 20 tahun penjara karena terbukti
menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar Amerika (sekitar 1,5 triliun
rupiah dengan kurs saat itu) yang didapatnya melalui kredit Bank
Bapindo melalui grup perusahaan Golden Key Group.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Eddy Tansil 20 tahun
penjara, denda Rp 30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar, dan
membayar kerugian negara Rp 1,3 triliun. Sekitar 20-an petugas penjara
Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa mereka membantu Eddy
Tansil untuk melarikan diri.
Sebuah LSM pengawas anti-korupsi, Gempita, memberitakan pada tahun
1999 bahwa Eddy Tansil ternyata tengah menjalankan bisnis pabrik bir di
bawah lisensi perusahaan bir Jerman, Becks Beer Company, di kota Pu
Tian, di propinsi Fujian, China.
Pada tanggal 29 Oktober 2007, Tempo Interactive memberitakan bahwa
Tim Pemburu Koruptor (TPK) – sebuah tim gabungan dari Kejaksaan Agung,
Departemen Hukum dan HAM, dan Polri, telah menyatakan bahwa mereka akan
segera memburu Eddy Tansil. Keputusan ini terutama didasari adanya
bukti dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)
bahwa buronan tersebut melakukan transfer uang ke Indonesia satu tahun
sebelumnya.
KASUS :
SIAPAKAH Eddy Tansil? Pada paspornya tertulis nama Tan Eddy Tansil
alias Tan Tju Fuan, kelahiran Ujungpandang, 2 Februari 1934. Tapi semua
koran mengutip: Eddy Tansil, terlahir Tan Tjoe Hong, 2 Februari 1953.
Diduga, ia tidak menuntaskan kuliah di sana. Tapi bisa dipastikan,
sejak itu Eddy langsung terjun ke kancah bisnis. Ada yang menduga,
usianya kini sekitar 46 tahun.
Eddy merintis usaha sebagai agen tunggal pemegang merek Bajaj, Tunas
Bekasi Motor, pada awal tahun 70-an. Bersama ayahnya, Harri Tansil
alias Tan Tek Hoat, ia membangun industri perakitan kendaraan bermotor
teknologi India itu di daerah Tambun, Bekasi. Saat itu sedang ramai
kampanye daerah bebas becak, dan Eddy melihat peluang: menyulap motor
”vespa” itu menjadi kendaraan umum roda tiga. Ia sukses. ”Bisnis
empuk,” katanya mengenang masa-masa emas itu.
Maklum, pemasaran Bajaj juga dimonopoli olehnya. Eddy menjual Bajaj
dengan kredit ringan, bahkan mengusahakan kredit investasi kecil (KIK)
bagi pembelinya. Orang pun berebut mengganti becaknya dengan Bajaj. Dan
kantor Eddy di Pecenongan segera saja dipenuhi ahli Bajaj yang
didatangkan langsung dari India.
Pada puncak masa jayanya itu, Eddy mengambil alih perusahaan perakit
sepeda motor Kawasaki. Tak jelas berapa besar investasinya di situ,
tapi kabarnya ia sempat berutang US$ 25 juta kepada BCA demi si
Kawasaki.
Karena terlalu menggebu barangkali, ia tidak memperhitungkan
perubahan kebijakan Pemerintah. Tak lama setelah Eddy mengambil
Kawasaki, Pemerintah melarang mobil roda tiga sebagai kendaraan umum.
Produksi Bajaj dihentikan, sementara Kawasaki dengan Binternya
tersendat di pasaran — kalah bersaing dengan Suzuki dan Honda.
Awal 1980, Tunas Bekasi bangkrut. Utangnya di BCA tak terbayar.
Delapan tahun kemudian, ia harus melepaskan pabrik perakitan di Tambun
ke pemilik BCA, Liem Sioe Liong. Pabrik itu juga yang menjadi cikal
bakal pusat otomotif terpadu milik Indomobil Group.
Tapi usaha Eddy tak sampai kolaps. Ia masih sempat menyelamatkan
industri moulding dan diesnya, PT Materindo Supra Metal Works. Pabrik
penghasil cetakan baja pres ini kelak menjadi salah satu tulang
punggung kerajaan bisnis Eddy Tansil.
Kecuali itu, pada tahun 1983 Eddy memboyong Beck’s Beer dari Bremen
ke Bogor, Jawa Barat. Bir cap kunci itu memang sedang populer di Eropa.
Bahkan ”negeri bir” Amerika Serikat pun dibanjiri produk Jerman ini.
Berdasarkan rekor itu, Eddy mengadu peruntungan baru.
Dengan modal awal Rp 2 miliar, ia mendirikan PT Rimba Subur
Sejahtera (RSS), berkongsi dengan Koesno Achzan Jein, pensiunan mayor
jenderal Angkatan Darat yang sejak itu menjadi mitranya. Ia
mendatangkan mesin baru, tenaga penyelia, bahan baku malt, bahkan ragi
khusus langsung dari Jerman. Pabriknya semua terkomputerisasi, dan bisa
dibilang tercanggih di Asia Tenggara.
Pendeknya, Bir Kunci van Bogor 100% seperti aslinya di Bremen. Tak
hanya itu. Untuk menerobos pagar persaingan yang ketat, Eddy mendirikan
dua distributor: Terang Meteor Cahaya dan Sinar Beck Birindo. Dengan
persiapan yang demikian rapi, ia yakin bakal sukses. ”Kita tak melihat
tantangan besar yang tak dapat diatasi,” kata Koesno, yang dipercaya
sebagai direktur utama di hampir semua perusahaan Eddy Tansil. November
1986, Bir Kunci mulai diproduksi. Dengan optimistis duet Eddy-Koesno
membanjiri pasar 25 juta liter bir per tahun, hampir sepertiga dari
total produksi nasional saat itu.
Tapi lidah Indonesia agaknya tak sama dengan Jerman atau Amerika.
Konsumen tak mudah membanting seleranya pada produk bir baru. Kendati
sempat dijuluki ”bir mewah”, si Kunci tak lama bertahan. Hanya dalam
dua tahun, Eddy terpaksa menutup produksi bir kunci di Indonesia.
Tapi ia tidak jera. Semua mesin pembuat bir ia boyong ke Fujian. Di
provinsi Cina Daratan itu, ia mengolah bir dengan merek sama. Dan
menurut sumber yang mengetahui, Eddy sukses besar sampai-sampai
dijuluki ”Bapak Bir Fujian”.
Sukses ini membuat ia dilirik seorang kenalan lama, Menteri Tenaga
Kerja Sudomo — kini Ketua DPA. Pak Menteri ini teman dekat ayah Eddy.
Kata Sudomo, ”Daripada tanam modal di negeri orang, apa tak lebih baik
di Indonesia?”
Dengan dukungan Sudomo, Eddy membawa pulang hoki bir kunci dari
Fujian dengan menamakan holding-nya sebagai Golden Key, si kunci emas.
Sudomolah yang menyarankan Eddy memasuki industri petrokimia.
Alasannya, prospeknya cerah. Karena itu, pada tahun itu juga, 1987,
Golden Key mengajukan izin untuk sejumlah proyek. Ada enam industri
petrokimia dan satu perusahaan komponen elektronik yang lolos. Total
investasinya mencapai setengah trilun rupiah.
Dari tujuh proyek, baru dua yang dibangun: Glasfibindo Indah,
penghasil 5.000 ton kaca serat saban tahun, dan PT Sukma Beta Sempurna,
produsen printed circuit board (PCB). Glasfibindo, satu-satunya
penghasil kaca serat di negeri ini, sejak empat tahun lalu sudah
mengekspor sebagian produknya ke Taiwan dan Korea.
Tapi, lima proyek petrokimia lainnya batal, termasuk industri carbon
black, styrene butadiene rubber, dan ethylene glycol. Beberapa proyek
”prestisius” yang pernah diajukannya juga terhenti sampai izin BKPM
saja. Ada apa? Penyebab utama agaknya ini: industri kimia sudah dikuasai
produsen raksasa yang punya modal dan kongsi superkuat. Dan Eddy
terjepit di antara lawan-lawan yang bukan kelasnya.
Dalam industri PTA tadi, di luar Pertamina Plaju, setidaknya ada
tiga raksasa yang sedang membangun industri bahan baku serat sintetis
polyester. Mereka adalah Bakrie Brothers (berkongsi dengan Mitsubishi
Corp.), lalu Salim Group yang menggandeng Amoco Chemical Company dari
Amerika, dan Humpuss Grup milik Tommy Soeharto.
Untung, Eddy sempat mengendalikan ambisinya. Tapi, untuk proyek
styrene monomer (bijih plastik) yang kini diributkan macet, ia ngotot.
Rencananya, Eddy melalui PT Graha Swakarsa Prima akan menanam
investasi sekitar Rp 450 miliar untuk menghasilkan bahan baku plastik
120 ribu ton. Padahal, tiga tahun sebelumnya, Bimantara, yang didukung
jaringan pemasaran Toyo Menka (Jepang) dengan teknologi Mosanto Lummus
(Amerika), juga membangun industri yang sama.
Pabrik Bimantara justru jauh lebih murah. Investasinya cuma Rp 200
miliar, tapi sudah menghasilkan 100 ribu ton setahun. Dan di luar
Bimantara masih ada Risyad Brasali Styrindo milik Ibrahim Risyad dan
Polichem Indonesia.
Melihat persaingan seperti itu, kalaupun proyek-proyek Golden Key
nanti berdiri dan berproduksi, masih perlu dipertanyakan, apakah ia
mampu melewati tahap persaingan yang berat. Tak cuma itu. Golden Key
murni PMDN. Ia tak punya partner bisnis yang kuat untuk mendukung
pemasaran di luar negeri.
Apalagi kalau mengingat proyeknya telah mengalami banyak hambatan.
Peralatan yang dipesannya dari Sinopec itu, misalnya, tak bisa dipakai
karena gagal mencapai spesifikasi lisensi dari Union Carbide
Coorporation Program. Karena itu, Eddy terpaksa ganti partner dan
proyeknya tertunda cukup lama. Akibatnya, jadwal cicilan utangnya pun
ikut tertunda. Dan seperti yang dipersoalkan oleh DPR: macet.
PENELUSURAN :
Berawal dari temuan Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita),
maka beredarlah berita menghebohkan: Eddy Tansil yang mendapat gelar
"mega koruptor," yang diberitakan melarikan diri dari penjara Cipinang,
Jakarta Timur, Mei 1996, ternyata berada di Fujian, Cina. Bukan hanya
itu di sana dia mempunyai pabrik dan sekaligus distributor bir dengan
nama Putian Golden Key Brewery Co.
Orang yang pertama kali mendapat informasi tentang keberadaan Eddy
Tansil ini adalah Hidayat Jati, staf Gempita. Dia mengaku, di bulan
Desember lalu, dia mendapat info dari koleganya yang berbisnis di Fujian
bahwa nama Tansil sedang mencuat dalam pembuatan dan pemasaran bir di
sana. Bahkan telah mendapat julukan "Bapak Bir Fujian," karena sukses
berbisnis bir di sana. Selanjutnya Hidayat Jati mencoba menelusuri
informasi itu lebih mendalam di internet. Hasilnya, ternyata nama Eddy
Tansil memang ada di sana, menjalankan bisnis birnya di Fujian, Cina,
bekerjasama dalam bentuk production licence agreement dengan produsen
bir kenamaan dari Jerman, Beck's Beer Co sejak 1992. Sayangnya tidak
dijelaskan di mana alamat di internet yang bisa membuat kita juga bisa
mendapat informasi tentang perusahaan bir tersebut.
Maka sebenarnya berita tersebut masih mentah untuk bisa diambil suatu
kesimpulan mutlak, bahwa memang benar Eddy Tansil itu masih hidup dan
berada di Cina. Walaupun Gempita mengatakan sangat yakin dengan hasil
temuannya itu. Temuan seperti ini harus sesegera mungkin ditindaklanjuti
dengan penyelidikan dan perburuan secara lebih mendalam dan "agresif."
Masalahnya apakah pihak pemerintah (berwajib) sungguh-sungguh mau
melakukannya? Beberapa tahun lalu, juga beberapa kali pihak berwajib
Indonesia disibukkan dengan informasi tentang keberadaan Eddy Tansil di
Jakarta. Ternyata setelah dilacak, orang itu bukan Eddy Tansil, tetapi
hanya nama, nama belakang, atau wajahnya yang mirip. Juga Oetojo Oesman
(sewaktu masih Menteri Kehakiman) pernah memergoki Eddy Tansil di
Kanada. Tetapi setelah dilacak tim yang ditugaskan ke sana, mereka
kecele. Orang tersebut sama sekali bukan Eddy Tansil, hanya wajahnya
yang mirip.
Apa yang ditemukan oleh Gempita hanya informasi bahwa Eddy Tansil
(masih) memiliki saham di pabrik bir di Cina. Namanya "Putian Golden Key
Brewery." Tidak ada bukti dan fakta yang meyakinkan bahwa Eddy Tansil
benar-benar masih hidup (di Cina). Bisa jadi Putian Golden Key yang
berdiri tahun 1992 itu memang dulunya dimiliki Eddy Tansil, tetapi bisa
jadi dia sendiri sekarang sudah mati. Sedangkan nama dan profil
perusahaan tersebut dalam data bisnis belum diubah oleh pemilik yang
lain.
Kalau juga misalnya Eddy masih hidup dan menjalankan bisnis birnya
dengan tetap memakai embel-embel "Golden Key", pertanyaan yang perlu
dijawab adalah mengapa Eddy bisa sebodoh dan seceroboh itu? Ini kok,
malah meninggalkan jejak dengan tetap memakai nama perusahaan lamanya
itu? Lebih parah lagi, kok bisa-bisanya namanya (Eddy Tansil) tetap
dipakai? Bukankah ini namanya dia meninggalkan jejak yang teramat jelas?
Ada yang mengatakan mungkin karena dia terlalu percaya diri. Tetapi
anehnya di sisi lain, pihak yang sama mengatakan Eddy Tansil memang
masih hidup dan mungkin sekarang sudah bedah plastik untuk mengubah
wajahnya. Kok bisa? Dia mau bersusah-susah melakukan operasi bedah
plastik wajahnya, tetapi bersamaan dengan itu dia tetap meninggalkan
jejak yang teramat jelas itu: nama "Golden Key" dan "Eddy Tansil."
Yang disayangkan pula di antara media-media cetak yang memberitakan
temuan Gempita ini tidak pernah (sejak dulu) menganalisis kemungkinan
lain, atau misteri di balik kejadian tersebut. Termasuk majalah Tempo
dan Tajuk yang mengandalkan berita investigasinya. Misteri di balik
peristiwa korupsi itu sendiri, dan misteri di balik larinya Eddy Tansil
dari penjara. Benarkah hanya dengan peran (surat sakti) dari Sudomo,
Bapindo menjadi gentar dan dengan mudah mengucurkan kredit yang
sedemikian besar dan kemudian disalahgunakan itu?
Benarkah hanya
Sudomo, Sumarlin, dan Adrianus Mooy yang patut dicurigai
keterlibatannya? Benarkah Eddy Tansil lari dari penjara, atau malah
sebenarnya sudah dibunuh?
Pihak mahasiswa pun demikian. Mereka seolah-olah menelan bulat-bulat
semua berita media Indonesia tentang Eddy Tansil itu. Seolah-olah tidak
tahu ada berbagai misteri, dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab
di balik semua itu.
Menurut beberapa sumber berita yang dekat dengan dunia inteljen dan
tabloid Tekad, sebenarnya Eddy Tansil tidak lari. Tetapi sudah dibunuh.
Awalnya, ketika masih di penjara, Eddy Tansil kedatangan tamu wartawan
Radio Australia. Dalam wawancara tersebut Eddy Tansil banyak
mengungkapkan hal-hal yang sebenarnya merupakan rahasia besar tentang
siapa saja pihak-pihak yang ikut terlibat dalam korupsi maha besar itu.
Di antaranya yang disebut adalah anggota Keluarga Cendana, yang bukan
lain adalah Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto). Tommy diketahui
bekerjasama dengan Eddy dalam perusahaan yang bernama PT Hamparan
Rejeki, yang juga adalah anak perusahaan Golden Key milik Eddy.
Maka ketika mendengar berita tentang adanya wawancara tadi, pihak Tommy
dan/atau pejabat tinggi lainnya menjadi kelabakan. Mereka ketakutan
kalau sampai Eddy nanti akan ceplas-ceplos semakin jauh lagi, sampai
akhirnya permainan kotor di antara mereka terkuak. Maka jalan yang
ditempuh adalah melenyapkan Eddy untuk selama-lamanya dengan rekayasa
bahwa dia melarikan diri dari penjara.
Kalau ini yang terjadi, mungkin Eddy sengaja ditawarkan untuk
melarikan diri. Setelah dia berada di luar penjara, ada yang
mengjemputnya. Eddy mengira dia akan dibawa ke tempat yang aman. Tapi
dalam perjalanan, dia langsung dihabisi. Setelah itu mayatnya
dimusnahkan. Misalnya dibakar, dan abunya disebarkan ke laut, atau
dikubur entah di mana. Seperti para aktivis politik yang diculik dan
sampai sekarang belum kembali. Ada yang mengatakan bahwa mereka yang
belum kembali itu sebenarnya sudah dieksekusi dan mayatnya dibuang di
perairan Kepulauan Seribu. Bahkan disebut pula Sjafrie Sjamsoeddin
adalah salah satu komandan yang memerintah eksekusi tersebut (Tajuk No.
23, Januari 1999). Pada tahun 1993, tidak lama setelah diketahui adanya
wawancara tadi, mendadak , dengan alasan cost of run proyek mencapai 100
persen, Tommy melepaskan sahamnya di sana. Hanya beberapa bulan
kemudian kasus korupsi yang maha besar itu tiba-tiba terkuak lewat
seorang anggota DPR yang bernama A.A. Baramuli, yang sekarang menjabat
sebagai Ketua DPA.
Baramuli di hampir setiap kesempatan selalu membangga-banggakan
temuannya itu. Padahal sebenarnya temuan dan pengungkapannya itu sendiri
mengandung misteri tersendiri. Bukan tak mungkin, dalam permainan kotor
itu dengan maksud tertentu, pihak Tommy lah yang sengaja menyerahkan
segala dokumen kepada Baramuli untuk "mengungkapkan" kasus tersebut.
Jadi bukan murni hasil kerja keras Baramuli. Pengungkapan itu sendiri
merupakan permainan rekayasa tersendiri. Dalam hal ini Baramuli hanya
dipakai sebagai alat. Seolah-olah hasil penyelidikannyalah yang berhasil
menemukan bobrok tersebut. Bukankah bagaimana caranya sampai Baramuli
bisa menemukan dan membongkar skandal tersebut tidak pernah trasparan?
Sebenarnya sebelum Baramuli "dipakai" untuk berperan sebagai pahlawan
pembongkar skandal raksasa itu, ada sebuah media cetak nasional
(Kompas?) yang dihubungi untuk berperan sebagai pihak yang membongkar
skandal tadi. Tetapi entah kenapa, dengan berbagai dalih, media itu
menolak. Maka muncullah Baramuli sebagai pahlawan pembongkar skadal.
Seperti layaknya anggota keluaraga Cendana lain. Saham Tommy di Golden
Key Group pun merupa saham kosong. Mungkin ini sebagai imbalan dari jasa
Tommy yang memuluskankan pengucuran dana kredit (430 juta dollar AS)
dari Bapindo tersebut. Tetapi karena Tommy merasa persentase saham
(kosong)nya itu terlalu kecil, dia minta tambah. Karena tidak ada
kesepakatan. Tommy gusar, dan menjual seluruh sahamnya. Setelah itu dia
menyatakan mengundurkan diri. Sebagai balas dendamnya dia akan
menghancurklan Golden Key bersama orang-orangnya. Demikianlah beberapa
bulan setelah Tommy mundur itulah, tiba-tiba Baramuli muncul sebagai
pahlawan yang membongkar skandal tersebut lengkap dengan berbagai
dokumen yang mendukung. Dari mana Baramuli bisa tiba-tiba memperoleh
dokumen-dokumen itu?
Eddy Tansil bersama para petinggi di Bapindo pun ditangkap dan masuk penjara. Cerita selanjutnya sudah kita ketahui.
Kasus yang mirip dalam skala yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan
kasus Golden Key adalah kasus pembobolan Bank Perniagaan sebesar Rp. 1
triliun. Menurut keterangan resmi pihak berwajib, Hindoro Halim, pemilik
bank yang disangka membobol banknya sendiri itu tewas bunuh diri dengan
meloncat dari jendela hotel, ketika digerebek polisi. Isu pun merebak
bahwa banyak keganjilan pada peristiwa penggerebekan yang menewaskan
Hindoro Halim itu. Ada dugaan Hindoro sebenarnya sengaja dibunuh, karena
jika sampai tertangkap dan disidangkan akan banyak nama-nama pejabat
tinggi yang keluar dari mulutnya, yang ikut terlibat dalam pembobolan
banknya sendiri itu.
Apakah pengungkapan keberadaan Eddy Tansil di Fujian, Cina kali ini
hanya merupakan suatu upaya pengalihan perhatian masyarakat dari
masalah-masalah sosial-politik sekarang ini? Bisa jadi demikian. Mungkin
saja pihak Gempita sendiri tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya
telah diperalat oleh pihak-pihak tertentu dengan maksud-maksud
tersembunyi di dalamnya. Kita lihat saja bagaimana tingkat keseriusan
pemerintah dalam mengungkapkan atau meneruskan penyelidikan tentang hal
ini.
sumber :
http://happyshinigami.wordpress.com/2011/01/19/masih-inget-salah-satu-koruptor-paling-dicari-di-indonesiabelum-ketemu/
ARTIKEL TERKAIT :
MENJELANG Eddy Tansil dituntut ke pengadilan, Kejaksaan Agung tampaknya
masih harus bekerja lebih keras. Belum lagi tuntas pemeriksaan terhadap 4
tersangka kasus pembobolan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), para jaksa
sudah harus siap menerima dua mantan direksi Bapindo yang lain, yaitu
Sjahrizal dan Bambang Kuntjoro.
Kedua bankir ini, Sabtu pekan lalu, dibebastugaskan sementara dari
jabatannya. Sebenarnya, sampai Jumat lalu tak seorang pun di Kejaksaan Agung
yang berani memastikan apakah Sjahrizal akan dibawa juga ke Gedung Bundar atau
tidak. Sedangkan Bambang Kuntjoro rupanya sudah punya firasat. Beberapa hari
sebelumnya, Bambang telah menghubungi Pengacara Denny Kailimang.
Sementara itu, Kejaksaan telah menambah masa penahanan 20 hari lagi terhadap
tiga mantan pejabat Bapindo (Subekti Ismaun, Towil Herjoto, Maman Suparman)
yang disangka terlibat kasus pembobolan Bapindo oleh Eddy Tansil.
Alasan perpanjangan masa tahanan itu ialah: Kejaksaan Agung belum puas akan
hasil penyidikannya. Ini diungkapkan oleh juru bicara Kejaksaan Agung,
Soeparman. Lembaga ini masih mencari bukti-bukti tambahan mengenai pembobolan
uang Bapindo sebesar Rp 1,7 triliun.
Selasa dan Rabu pekan lalu, misalnya, dua jaksa menggeledah rumah dinas
mantan Dirut Bapindo Towil Herjoto di Jalan Widya Chandra VII, Jakarta. Yang
dicari adalah bukti penyerahan uang Rp 500 juta dari Eddy Tansil kepada Towil.
Sayang, tanda terima itu tidak ditemukan.
Lalu yang disita adalah surat-surat kendaraan keluaran tahun 1990 (Honda
Civic dan Fiat Uno). Menurut sumber TEMPO, sebuah peternakan kuda milik Towil
di Pati (Jawa Tengah) serta sebuah rumah di Puri Cinere (Jakarta Selatan) juga
akan disita.
Memang, kabarnya, ada sekitar US$ 125 juta yang telah dibagi- bagikan Eddy
Tansil. Sebuah kopi surat kepada Jaksa Agung Singgih bertanggal 20 Maret 1994
menyebutkan bahwa Eddy telah membagi sekitar US$ 125 juta kepada sejumlah
pejabat, US$ 40 juta di antaranya khusus untuk para direktur Bapindo. Sahih
atau tidaknya laporan ini tentu masih harus dibuktikan.
Menurut penyidikan Kejaksaan, dana Bapindo yang digondol Eddy berjumlah US$
436.515.000 atau sekitar Rp 940 miliar, belum termasuk bunga dan provisi. Dari
hasil penyidikan itu juga diketahui bahwa perusahaan Golden Key Group (GKG)
milik Eddy ternyata telah menerima pinjaman dari BNI (US$ 136 juta dan Rp 101
miliar), Bank Exim (US$ 87 juta dan Rp 8,9 miliar), serta dari BDN (Rp 155
miliar).
Kalau dijumlahkan, maka dana dari empat bank pemerintah yang masuk ke kocek
Eddy Tansil, seluruhnya hampir mencapai Rp 1,7 triliun. Kredit-kredit itu
dikucurkan untuk empat perusahaan milik Eddy, yakni PT Graha Swakarsa Prima,
PT Pusaka Warna Polypropylene, PT Hamparan Redjeki, dan PT Dinamika Erajaya.
Dewasa ini penyidikan Kejaksaan dipusatkan pada pembobolan Bapindo saja. Bila
dikaji lagi, maka semakin jelaslah bahwa bencana itu terjadi selain karena
kolusi, juga karena kebobrokan Bapindo sendiri.
Adapun pengucuran dana Bapindo terjadi secara bertahap, dan dalam garis
besar, urut-urutan kejadiannya adalah sebagai berikut.
Setelah tidak berhasil mendapatkan kredit Bapindo sejak tahun 1987, maka pada
bulan Juni 1989 Eddy menemui Subekti Ismaun (Dirut Bapindo) dan Towil Herjoto
(Direktur Kredit Bapindo). Saat itu ia membawa memo dari Menko Polkam Sudomo,
untuk permohonan kredit bagi proyek Golden Key Petrokimia. Permohonan itu
rupanya langsung ditanggapi positif.
16 Juni 1989 Eddy sudah mengajukan permohonan usance L/C sejumlah US$ 125,5
juta untuk PT Graha Swakarsa Prima (GSP). Namun, Bapindo belum bergerak
sehingga Eddy membuat surat lagi tanggal 25 September 1989.
Sehari kemudian, Direksi Bapindo setuju membuka usance L/C tanpa lebih dulu
membahas kelayakan proyek. Keputusan yang ceroboh ini bisa disebutkan sebagai
pelanggaran pertama atas prosedur kerja bank yang baku dan lazim berlaku.
Hanya, tak terungkap siapa saja direksi yang hadir dan memutuskan saat itu.
26 Desember 1989. Direksi Bapindo me nyetujui pembukaan usance L/C sebesar
US$ 40 juta di kantor cabang Jakarta. Syaratnya: Eddy harus menyerahkan
kontrak asli dengan Lucky Eng. Division Hongkong membuka deposito wajib Rp 3,6
miliar di Bapindo dan membayar provisi 1/8%.
Di sini terjadi pelanggaran kedua. Kendati syarat-syarat tadi belum dipenuhi,
Kepala Bapindo Kantor Cabang Jakarta, Maman Suparman, sudah membuka usance
L/C. Alasan Maman, karena ia ditegur Towil dan dinilai lambat melakukan
tugasnya. Mungkin karena pengalaman tak sedap itu, maka pada 5 Februari 1990
Maman kembali mengubah usance L/C menjadi red clause L/C senilai US$ 12,4 juta
untuk PT GSP tanpa persetujuan kantor pusat Bapindo. Entah mengapa, pada 22
Februari 1990 direksi Bapindo menyetujui tindakan Maman. Pagu kredit red
clause L/C ditentukan Rp 249,4 miliar, bahkan lebih gila lagi, plafon kredit
diperbesar hingga US$ 474,6 juta. Itu untuk biaya proyek-proyek PT GSP, Pusaka
Warna Propelene, dan Pusaka Warna Polyetelene.
Sejak itu lapanglah jalan bagi Eddy Tansil untuk membobol Bapindo. Kebetulan,
Maman Suparman mudah diajak bekerja sama. Kepala Cabang Jakarta ini lancang
mengambil keputusan sendiri karena sekitar April 1990 kantor Bapindo cabang
Jakarta sedang mengalami transisi akibat dipecah menjadi dua kantor cabang.
Sambil menunggu penggantinya, Indra Rastiko, serta Wakilnya, Otto Sampo, Maman
tampil sebagai penguasa tunggal di kantor cabang baru Jalan Rasuna Said,
Jakarta.
Setelah sukses memperalat Maman dengan mengubah usance L/C menjadi red clause
L/C, Eddy kemudian memperalat Maman lagi dengan menyuruhnya mengubah nama
beneficiary alias penerima kredit Bapindo. Lalu, jatah L/C untuk Lucky
Engeneering diperkecil dari US$ 75 juta menjadi US$ 28 juta. Sementara itu,
jatah L/C untuk pemasok lokal, yang semula US$ 50 juta, diperbesar menjadi US$
97 juta. Dengan demikian, pencairan kredit lebih banyak dinikmati oleh
kontraktor lokal, yakni PT Metarindo yang ternyata milik Eddy Tansil sendiri.
Karena tak mau tanggung-tanggung, rupanya Eddy juga berhasil membelokkan
jatah L/C untuk Lucky Engineering (Korea Selatan) ke beneficiary yang bernama
Golden Step Development di Hong Kong. Seperti sudah sering diberitakan,
perusahaan ini adalah milik Eddy Tansil, yang ketika dicek oleh Bapindo cabang
Hong Kong ternyata sudah lenyap tak berbekas.
Selama periode dari 5 Februari 1990 hingga 26 Mei 1993 Eddy telah menjual
bank acceptance atas nama Bapindo sebanyak US$ 436,516 juta atau 92% dari
plafon kredit untuk Golden Key Group.
Barulah dua tahun kemudian, persisnya 28 April 1992, praktek kongkalikong
tadi ketahuan. Kepala Urusan Pengawasan kantor pusat Bapindo, Johanes Djijo,
menemukan bahwa minimal ada 6 kesalahan dalam penyaluran kredit untuk Golden
Key. "Prosedur kredit tidak sesuai dengan ketentuan. Perubahan usance menjadi
red clause L/C tanpa persetujuan tertulis dari kantor pusat. Tidak ada cash
colateral. Rekening administrasi tidak memuat jumlah akseptasi yang diberikan
kepada GKG. Bukti asli pesanan barang tidak diserahkan," begitu laporan Djijo
kepada Dirut Bapindo, Subekti Ismaun.
Subekti lalu memerintahkan Direktur Bambang Kuntjoro mengecek laporan Djijo.
Bambang menugasi asistennya, Machwi. Hasil laporan Machwi ternyata sama dengan
penemuan Djijo dan disampaikan ke Subekti, 22 Mei 1992.
2 Juni 1992. Rapat direksi (Bambang Kuntjoro, Sjahrizal, Adhi Sugondo)
memutuskan tidak akan menerbitkan bank acceptance tambahan untuk GKG. Anehnya,
malam 2 Juni juga, keputusan itu dibatalkan. Langkah ini konon ditempuh
setelah Sjahrizal dimarahi Dirjen Moneter dan disuruh menghadap Menteri
Keuangan. Lalu Eddy boleh menjual bank acceptance sebatas plafon usance L/C
yang telah dibuka.
16 Juni 1992. Direksi kembali mengadakan rapat untuk membicarakan keputusan 2
Juni malam. Direktur Utama Subekti Ismaun memimpin rapat, dihadiri Bambang
Kuntjoro, Sjahrizal, dan Towil Herjoto. Rapat mengesahkan keputusan 2 Juni
malam (Eddy boleh mencairkan seluruh kredit).
Hampir setahun kemudian, Mei 1993, Eddy berhasil menarik 92% dari pagu
kreditnya (US$ 474,6 juta). Ke mana saja Eddy menyalurkan uang sebanyak itu
belum bisa sepenuhnya dilacak. Dari pengusutan tim khusus kejaksaan diketahui
bahwa dana itu antara lain dipergunakan untuk menutup utang Eddy Tansil di BBD
(US$ 19 juta), dan membuka deposito di beberapa bank, antara lain Bank Namura
(Rp 17 miliar).
Bagaimana dengan proyek? Ternyata PT GSP baru siap 30%, sedangkan dua proyek
(propylene dan ethylene) di PT Pusaka Warna masih belum apa-apa. Sejak
pertengahan 1993 Bapindo berkali-kali memanggil Eddy Tansil untuk dimintai
pertanggungjawaban, tapi buaya Pecenongan ini selalu menghindar.
Barulah pada 28 September 1993 Eddy membuat laporan lisan di Bapindo bahwa
uang muka (bank acceptance) telah digunakan untuk proyek dan deposito di Bank
Danamon sebesar Rp 11 miliar. Toh, ketika diminta menandatangani perjanjian
akad kredit, Eddy menolak. Ia justru minta kredit baru sebesar US$ 500 juta.
Dua minggu kemudian, 12 Oktober 1993, Bapindo mengancam akan mempidanakan
Eddy pada Kejaksaan Agung. Lalu, 13 Oktober 1993, Bambang Kuntjoro dan
asistennya, A.R. Boute Usman, melapor kepada Sudomo di Kantor Ketua Dewan
Pertimbangan Agung. Dilaporkan bahwa Bapindo bersedia membantu Eddy
merampungkan proyek, tapi Eddy kelihatannya tidak terbuka, dalam arti tidak
bersedia memberi pertanggungjawaban.
Tanggapan Sudomo cukup positif. Kata Sudomo, Eddy sudah dibinanya sejak muda.
Eddy pernah kembali ke RRC sehingga mendapat banyak koneksi dan berhasil
mengumpulkan banyak uang. Sudomo lalu mengajak Eddy menanamkan uang di
Indonesia. Untuk membantu realisasi proyek Eddy, Sudomo kabarnya mengatakan
bahwa Eddy mendapat dukungan Sumarlin (Menteri Keuangan) dan Nasrudin
Sumintapura (Menteri Muda Keuangan).
Sehari kemudian, 14 Oktober 1993, Sudomo memanggil Eddy dan disuruh membuat
pertanggungjawaban.
21 Oktober 1993. Bambang Kuntjoro dan A.R.B. Usman kembali menghadap Sudomo,
melaporkan perihal GKG dan berterima kasih karena Sudomo telah meminta
pertanggungjawaban Eddy. Dilaporkan juga bahwa tim Bapindo telah mengecek ke
lokasi proyek, dan ternyata realisasi pembangunan masih jauh dari memuaskan.
Administrasi pembukuan Eddy semrawut, tapi tawaran Bapindo -- untuk menata --
ditolaknya. Bapindo sekali lagi mengemis agar Sudomo membujuk Eddy, untuk
diperiksa pembukuannya. Bapindo juga menawarkan pihak ketiga untuk mengambil
alih manajemen perusahaan Eddy.
Sudomo menyambut baik semua usul tersebut. Tapi hingga 26 Oktober 1993 Eddy
tetap menolak semua usul Bapindo.
8 Desember 1993. Bambang Kuntjoro, Achmad Marzuki, A.R.B. Usman kembali
mengadakan rapat dengan Sudomo di DPA. Di situ lagi-lagi Bapindo minta bantuan
Sudomo agar Eddy membuat laporan tertulis, dan mesti menyiapkan dana sendiri
minimal 35%.
Sudomo setuju atas syarat-syarat itu, tapi tampaknya tak banyak lagi yang
bisa diselamatkan dari uang Rp 1,7 triliun yang terlanjur menguap itu. Lalu,
entah bagaimana, skandal Eddy-Bapindo pun menyusup ke gedung DPR. Dan pada
awal Februari 1994 Arnold Baramuli membuka kasus itu di DPR yang bermuara pada
16 Februari 1994, ketika Eddy Tansil diciduk oleh pihak Kejaksaan.
sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1994/04/16/EB/mbm.19940416.EB148.id.html