Halaman

Welcome To My Blog

BAHASA INDONESIA 2 (DEDUKTIF)


Paragraf deduktif 
Paragraf dengan kalimat utama di awal, kemudian diikuti oleh kalimat penjelas. 
Ciri-ciri paragraf berpola deduktif
Penalaran deduktif adalah proses penalaran yang bertolak dari peristiwa peristiwa yang sifatnya umum menuju pernyataan khusus. Apabila diidentifikasi secara terperinci, paragraf berpola deduktif memiliki ciri-ciri sebagai berikut. 
1) Letak kalimat utama di awal paragraf. 
2) Diawali dengan pernyataan umum disusul dengan uraian atau penjelasan  khusus. 
3) Diakhiri dengan penjelasan
Contoh : 
Setiap individu bersifat unik. Artinya, ia memiliki perbedaan dengan yang lain. Perbedaan itu bermacam-macam, mulaidari perbedaan fisik, pola berpikir, dan cara merespons atau mempelajari hal yang baru. Dalam hal ini, misalnya dalam menyerap pelajaran, ada individu yang cepat dan ada yang lambat. 
Paragraf tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 
Kalimat utama : Setiap individu bersifat unik. 
Kalimat penjelas : 
1. Artinya, ia memiliki perbedaan denganyang lain. 
2. Perbedaan itu bermacam-macam, mulaidari perbedaan fisik, pola berpikir, dancara merespons, atau mempelajari halyang sama.
3. Dalam hal ini, misalnya dalam menyerap pelajaran, ada individu yang cepat dan ada yang lambat.
Referensi paragraf :
 Pendidikan Pisikologi

Kom. Lembaga Keu. Perbankan (tugas 2)

WORLD FINANCIAL FLOW

BAGAN :


 ket :
(+)A     = Nasabah yang melakukan deposito
(+)B     = Nasabah yang melakuan pinjaman/kredit

Bagan berikut adalah mengenai World  Financial Flow
, ini adalah sedikit penjelasan dari saya :
Jauh sebelum ada nya uang sebagai alat tukar yang sah, masyarat menggunakan sistem barter sebagai cara transaksi antara kedua belah pihak atau lebih, namun setelah uang mulai disahkan sebagai alat transaksi munculah lembaga perbankan yang membantu mengontrol prekonomian yang disebut bank.
Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote. Sedangkan menurut undang-undang perbankan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Bagan tersebut menjelaskan tentang arus keuangan bank yaitu
    1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, tabungan.
    2. Memberi kredit
    3. Menerbitkan surat pengakuan utang
    4. Membeli, menjual, atau meminjam atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabah  :

a) surat-surat wesel termasuk wesel yang diaksep oleh bank
 
b) surat pengakuan utang 
c) kertas perbendaharaan negara dan surat jamina pemerintah 
d) Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 
e) Obligasi 
f) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1(satu) tahun 
g) intrumen surat berharga lain yang berjanka waktu sampai 1(satu tahun 
    5. Mengajukan transfer of risk kepada pihak asuransi(pihak kedua boleh menggunakan reasuransi bahkan retrocessi kepada pihak yang lain)   
    6. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.

catatan :

Nasabah yang melakukan deposito A(+) :
 -apabila  suku  bunga i3>i1 yang terjadi adalah A akan menginvestasikan uangnya.
 -apabila  suku  bunga i3<i1 yang terjadi adalah A akan menyimpan uangnya di bank.
Nasabah yang melakukan pinjaman/kredit B(-):
 -apabila suku bunga i3>i2 maka B akan mengeluarkan obligasi
 -apabila suku bunga i3<i2 maka B akan mencari/kredit uang di bank

Kom. Lembaga Keu. Perbankan (tugas 1)

KASUS PEMBOBOLAN BAPINDO EDDY TANSIL


RIWAYAT :
Eddy Tansil (lahir tahun 1954) adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang keberadaanya kini tidak diketahui. Ia melarikan diri dari penjara Cipinang, Jakarta, pada tanggal 4 Mei 1996 saat tengah menjalani hukuman 20 tahun penjara karena terbukti menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar Amerika (sekitar 1,5 triliun rupiah dengan kurs saat itu) yang didapatnya melalui kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden Key Group.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar, dan membayar kerugian negara Rp 1,3 triliun. Sekitar 20-an petugas penjara Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa mereka membantu Eddy Tansil untuk melarikan diri.
Sebuah LSM pengawas anti-korupsi, Gempita, memberitakan pada tahun 1999 bahwa Eddy Tansil ternyata tengah menjalankan bisnis pabrik bir di bawah lisensi perusahaan bir Jerman, Becks Beer Company, di kota Pu Tian, di propinsi Fujian, China.

Pada tanggal 29 Oktober 2007, Tempo Interactive memberitakan bahwa Tim Pemburu Koruptor (TPK) – sebuah tim gabungan dari Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan HAM, dan Polri, telah menyatakan bahwa mereka akan segera memburu Eddy Tansil. Keputusan ini terutama didasari adanya bukti dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) bahwa buronan tersebut melakukan transfer uang ke Indonesia satu tahun sebelumnya.

KASUS :
SIAPAKAH Eddy Tansil? Pada paspornya tertulis nama Tan Eddy Tansil alias Tan Tju Fuan, kelahiran Ujungpandang, 2 Februari 1934. Tapi semua koran mengutip: Eddy Tansil, terlahir Tan Tjoe Hong, 2 Februari 1953.
Diduga, ia tidak menuntaskan kuliah di sana. Tapi bisa dipastikan, sejak itu Eddy langsung terjun ke kancah bisnis. Ada yang menduga, usianya kini sekitar 46 tahun.

Eddy merintis usaha sebagai agen tunggal pemegang merek Bajaj, Tunas Bekasi Motor, pada awal tahun 70-an. Bersama ayahnya, Harri Tansil alias Tan Tek Hoat, ia membangun industri perakitan kendaraan bermotor teknologi India itu di daerah Tambun, Bekasi. Saat itu sedang ramai kampanye daerah bebas becak, dan Eddy melihat peluang: menyulap motor ”vespa” itu menjadi kendaraan umum roda tiga. Ia sukses. ”Bisnis empuk,” katanya mengenang masa-masa emas itu.

Maklum, pemasaran Bajaj juga dimonopoli olehnya. Eddy menjual Bajaj dengan kredit ringan, bahkan mengusahakan kredit investasi kecil (KIK) bagi pembelinya. Orang pun berebut mengganti becaknya dengan Bajaj. Dan kantor Eddy di Pecenongan segera saja dipenuhi ahli Bajaj yang didatangkan langsung dari India.

Pada puncak masa jayanya itu, Eddy mengambil alih perusahaan perakit sepeda motor Kawasaki. Tak jelas berapa besar investasinya di situ, tapi kabarnya ia sempat berutang US$ 25 juta kepada BCA demi si Kawasaki.
Karena terlalu menggebu barangkali, ia tidak memperhitungkan perubahan kebijakan Pemerintah. Tak lama setelah Eddy mengambil Kawasaki, Pemerintah melarang mobil roda tiga sebagai kendaraan umum. Produksi Bajaj dihentikan, sementara Kawasaki dengan Binternya tersendat di pasaran — kalah bersaing dengan Suzuki dan Honda.
Awal 1980, Tunas Bekasi bangkrut. Utangnya di BCA tak terbayar. Delapan tahun kemudian, ia harus melepaskan pabrik perakitan di Tambun ke pemilik BCA, Liem Sioe Liong. Pabrik itu juga yang menjadi cikal bakal pusat otomotif terpadu milik Indomobil Group.

Tapi usaha Eddy tak sampai kolaps. Ia masih sempat menyelamatkan industri moulding dan diesnya, PT Materindo Supra Metal Works. Pabrik penghasil cetakan baja pres ini kelak menjadi salah satu tulang punggung kerajaan bisnis Eddy Tansil.

Kecuali itu, pada tahun 1983 Eddy memboyong Beck’s Beer dari Bremen ke Bogor, Jawa Barat. Bir cap kunci itu memang sedang populer di Eropa. Bahkan ”negeri bir” Amerika Serikat pun dibanjiri produk Jerman ini. Berdasarkan rekor itu, Eddy mengadu peruntungan baru.
Dengan modal awal Rp 2 miliar, ia mendirikan PT Rimba Subur Sejahtera (RSS), berkongsi dengan Koesno Achzan Jein, pensiunan mayor jenderal Angkatan Darat yang sejak itu menjadi mitranya. Ia mendatangkan mesin baru, tenaga penyelia, bahan baku malt, bahkan ragi khusus langsung dari Jerman. Pabriknya semua terkomputerisasi, dan bisa dibilang tercanggih di Asia Tenggara.

Pendeknya, Bir Kunci van Bogor 100% seperti aslinya di Bremen. Tak hanya itu. Untuk menerobos pagar persaingan yang ketat, Eddy mendirikan dua distributor: Terang Meteor Cahaya dan Sinar Beck Birindo. Dengan persiapan yang demikian rapi, ia yakin bakal sukses. ”Kita tak melihat tantangan besar yang tak dapat diatasi,” kata Koesno, yang dipercaya sebagai direktur utama di hampir semua perusahaan Eddy Tansil. November 1986, Bir Kunci mulai diproduksi. Dengan optimistis duet Eddy-Koesno membanjiri pasar 25 juta liter bir per tahun, hampir sepertiga dari total produksi nasional saat itu.

Tapi lidah Indonesia agaknya tak sama dengan Jerman atau Amerika. Konsumen tak mudah membanting seleranya pada produk bir baru. Kendati sempat dijuluki ”bir mewah”, si Kunci tak lama bertahan. Hanya dalam dua tahun, Eddy terpaksa menutup produksi bir kunci di Indonesia.
Tapi ia tidak jera. Semua mesin pembuat bir ia boyong ke Fujian. Di provinsi Cina Daratan itu, ia mengolah bir dengan merek sama. Dan menurut sumber yang mengetahui, Eddy sukses besar sampai-sampai dijuluki ”Bapak Bir Fujian”.

Sukses ini membuat ia dilirik seorang kenalan lama, Menteri Tenaga Kerja Sudomo — kini Ketua DPA. Pak Menteri ini teman dekat ayah Eddy. Kata Sudomo, ”Daripada tanam modal di negeri orang, apa tak lebih baik di Indonesia?”
Dengan dukungan Sudomo, Eddy membawa pulang hoki bir kunci dari Fujian dengan menamakan holding-nya sebagai Golden Key, si kunci emas.
Sudomolah yang menyarankan Eddy memasuki industri petrokimia. Alasannya, prospeknya cerah. Karena itu, pada tahun itu juga, 1987, Golden Key mengajukan izin untuk sejumlah proyek. Ada enam industri petrokimia dan satu perusahaan komponen elektronik yang lolos. Total investasinya mencapai setengah trilun rupiah.

Dari tujuh proyek, baru dua yang dibangun: Glasfibindo Indah, penghasil 5.000 ton kaca serat saban tahun, dan PT Sukma Beta Sempurna, produsen printed circuit board (PCB). Glasfibindo, satu-satunya penghasil kaca serat di negeri ini, sejak empat tahun lalu sudah mengekspor sebagian produknya ke Taiwan dan Korea.

Tapi, lima proyek petrokimia lainnya batal, termasuk industri carbon black, styrene butadiene rubber, dan ethylene glycol. Beberapa proyek ”prestisius” yang pernah diajukannya juga terhenti sampai izin BKPM saja. Ada apa? Penyebab utama agaknya ini: industri kimia sudah dikuasai produsen raksasa yang punya modal dan kongsi superkuat. Dan Eddy terjepit di antara lawan-lawan yang bukan kelasnya.

Dalam industri PTA tadi, di luar Pertamina Plaju, setidaknya ada tiga raksasa yang sedang membangun industri bahan baku serat sintetis polyester. Mereka adalah Bakrie Brothers (berkongsi dengan Mitsubishi Corp.), lalu Salim Group yang menggandeng Amoco Chemical Company dari Amerika, dan Humpuss Grup milik Tommy Soeharto.

Untung, Eddy sempat mengendalikan ambisinya. Tapi, untuk proyek styrene monomer (bijih plastik) yang kini diributkan macet, ia ngotot.
Rencananya, Eddy melalui PT Graha Swakarsa Prima akan menanam investasi sekitar Rp 450 miliar untuk menghasilkan bahan baku plastik 120 ribu ton. Padahal, tiga tahun sebelumnya, Bimantara, yang didukung jaringan pemasaran Toyo Menka (Jepang) dengan teknologi Mosanto Lummus (Amerika), juga membangun industri yang sama.

Pabrik Bimantara justru jauh lebih murah. Investasinya cuma Rp 200 miliar, tapi sudah menghasilkan 100 ribu ton setahun. Dan di luar Bimantara masih ada Risyad Brasali Styrindo milik Ibrahim Risyad dan Polichem Indonesia.
Melihat persaingan seperti itu, kalaupun proyek-proyek Golden Key nanti berdiri dan berproduksi, masih perlu dipertanyakan, apakah ia mampu melewati tahap persaingan yang berat. Tak cuma itu. Golden Key murni PMDN. Ia tak punya partner bisnis yang kuat untuk mendukung pemasaran di luar negeri.

Apalagi kalau mengingat proyeknya telah mengalami banyak hambatan. Peralatan yang dipesannya dari Sinopec itu, misalnya, tak bisa dipakai karena gagal mencapai spesifikasi lisensi dari Union Carbide Coorporation Program. Karena itu, Eddy terpaksa ganti partner dan proyeknya tertunda cukup lama. Akibatnya, jadwal cicilan utangnya pun ikut tertunda. Dan seperti yang dipersoalkan oleh DPR: macet.

PENELUSURAN :
  Berawal dari temuan Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita), maka beredarlah berita menghebohkan: Eddy Tansil yang mendapat gelar "mega koruptor," yang diberitakan melarikan diri dari penjara Cipinang, Jakarta Timur, Mei 1996, ternyata berada di Fujian, Cina. Bukan hanya itu di sana dia mempunyai pabrik dan sekaligus distributor bir dengan nama Putian Golden Key Brewery Co.

Orang yang pertama kali mendapat informasi tentang keberadaan Eddy Tansil ini adalah Hidayat Jati, staf Gempita. Dia mengaku, di bulan Desember lalu, dia mendapat info dari koleganya yang berbisnis di Fujian bahwa nama Tansil sedang mencuat dalam pembuatan dan pemasaran bir di sana. Bahkan telah mendapat julukan "Bapak Bir Fujian," karena sukses berbisnis bir di sana. Selanjutnya Hidayat Jati mencoba menelusuri informasi itu lebih mendalam di internet. Hasilnya, ternyata nama Eddy Tansil memang ada di sana, menjalankan bisnis birnya di Fujian, Cina, bekerjasama dalam bentuk production licence agreement dengan produsen bir kenamaan dari Jerman, Beck's Beer Co sejak 1992. Sayangnya tidak dijelaskan di mana alamat di internet yang bisa membuat kita juga bisa mendapat informasi tentang perusahaan bir tersebut.

Maka sebenarnya berita tersebut masih mentah untuk bisa diambil suatu kesimpulan mutlak, bahwa memang benar Eddy Tansil itu masih hidup dan berada di Cina. Walaupun Gempita mengatakan sangat yakin dengan hasil temuannya itu. Temuan seperti ini harus sesegera mungkin ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan perburuan secara lebih mendalam dan "agresif." Masalahnya apakah pihak pemerintah (berwajib) sungguh-sungguh mau melakukannya? Beberapa tahun lalu, juga beberapa kali pihak berwajib Indonesia disibukkan dengan informasi tentang keberadaan Eddy Tansil di Jakarta. Ternyata setelah dilacak, orang itu bukan Eddy Tansil, tetapi hanya nama, nama belakang, atau wajahnya yang mirip. Juga Oetojo Oesman (sewaktu masih Menteri Kehakiman) pernah memergoki Eddy Tansil di Kanada. Tetapi setelah dilacak tim yang ditugaskan ke sana, mereka kecele. Orang tersebut sama sekali bukan Eddy Tansil, hanya wajahnya yang mirip.

Apa yang ditemukan oleh Gempita hanya informasi bahwa Eddy Tansil (masih) memiliki saham di pabrik bir di Cina. Namanya "Putian Golden Key Brewery." Tidak ada bukti dan fakta yang meyakinkan bahwa Eddy Tansil benar-benar masih hidup (di Cina). Bisa jadi Putian Golden Key yang berdiri tahun 1992 itu memang dulunya dimiliki Eddy Tansil, tetapi bisa jadi dia sendiri sekarang sudah mati. Sedangkan nama dan profil perusahaan tersebut dalam data bisnis belum diubah oleh pemilik yang lain.

Kalau juga misalnya Eddy masih hidup dan menjalankan bisnis birnya dengan tetap memakai embel-embel "Golden Key", pertanyaan yang perlu dijawab adalah mengapa Eddy bisa sebodoh dan seceroboh itu? Ini kok, malah meninggalkan jejak dengan tetap memakai nama perusahaan lamanya itu? Lebih parah lagi, kok bisa-bisanya namanya (Eddy Tansil) tetap dipakai? Bukankah ini namanya dia meninggalkan jejak yang teramat jelas? Ada yang mengatakan mungkin karena dia terlalu percaya diri. Tetapi anehnya di sisi lain, pihak yang sama mengatakan Eddy Tansil memang masih hidup dan mungkin sekarang sudah bedah plastik untuk mengubah wajahnya. Kok bisa? Dia mau bersusah-susah melakukan operasi bedah plastik wajahnya, tetapi bersamaan dengan itu dia tetap meninggalkan jejak yang teramat jelas itu: nama "Golden Key" dan "Eddy Tansil."

Yang disayangkan pula di antara media-media cetak yang memberitakan temuan Gempita ini tidak pernah (sejak dulu) menganalisis kemungkinan lain, atau misteri di balik kejadian tersebut. Termasuk majalah Tempo dan Tajuk yang mengandalkan berita investigasinya. Misteri di balik peristiwa korupsi itu sendiri, dan misteri di balik larinya Eddy Tansil dari penjara. Benarkah hanya dengan peran (surat sakti) dari Sudomo, Bapindo menjadi gentar dan dengan mudah mengucurkan kredit yang sedemikian besar dan kemudian disalahgunakan itu? Benarkah hanya Sudomo, Sumarlin, dan Adrianus Mooy yang patut dicurigai keterlibatannya? Benarkah Eddy Tansil lari dari penjara, atau malah sebenarnya sudah dibunuh?

Pihak mahasiswa pun demikian. Mereka seolah-olah menelan bulat-bulat semua berita media Indonesia tentang Eddy Tansil itu. Seolah-olah tidak tahu ada berbagai misteri, dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab di balik semua itu.

Menurut beberapa sumber berita yang dekat dengan dunia inteljen dan tabloid Tekad, sebenarnya Eddy Tansil tidak lari. Tetapi sudah dibunuh. Awalnya, ketika masih di penjara, Eddy Tansil kedatangan tamu wartawan Radio Australia. Dalam wawancara tersebut Eddy Tansil banyak mengungkapkan hal-hal yang sebenarnya merupakan rahasia besar tentang siapa saja pihak-pihak yang ikut terlibat dalam korupsi maha besar itu. Di antaranya yang disebut adalah anggota Keluarga Cendana, yang bukan lain adalah Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto). Tommy diketahui bekerjasama dengan Eddy dalam perusahaan yang bernama PT Hamparan Rejeki, yang juga adalah anak perusahaan Golden Key milik Eddy.

Maka ketika mendengar berita tentang adanya wawancara tadi, pihak Tommy dan/atau pejabat tinggi lainnya menjadi kelabakan. Mereka ketakutan kalau sampai Eddy nanti akan ceplas-ceplos semakin jauh lagi, sampai akhirnya permainan kotor di antara mereka terkuak. Maka jalan yang ditempuh adalah melenyapkan Eddy untuk selama-lamanya dengan rekayasa bahwa dia melarikan diri dari penjara.

Kalau ini yang terjadi, mungkin Eddy sengaja ditawarkan untuk melarikan diri. Setelah dia berada di luar penjara, ada yang mengjemputnya. Eddy mengira dia akan dibawa ke tempat yang aman. Tapi dalam perjalanan, dia langsung dihabisi. Setelah itu mayatnya dimusnahkan. Misalnya dibakar, dan abunya disebarkan ke laut, atau dikubur entah di mana. Seperti para aktivis politik yang diculik dan sampai sekarang belum kembali. Ada yang mengatakan bahwa mereka yang belum kembali itu sebenarnya sudah dieksekusi dan mayatnya dibuang di perairan Kepulauan Seribu. Bahkan disebut pula Sjafrie Sjamsoeddin adalah salah satu komandan yang memerintah eksekusi tersebut (Tajuk No. 23, Januari 1999). Pada tahun 1993, tidak lama setelah diketahui adanya wawancara tadi, mendadak , dengan alasan cost of run proyek mencapai 100 persen, Tommy melepaskan sahamnya di sana. Hanya beberapa bulan kemudian kasus korupsi yang maha besar itu tiba-tiba terkuak lewat seorang anggota DPR yang bernama A.A. Baramuli, yang sekarang menjabat sebagai Ketua DPA.

Baramuli di hampir setiap kesempatan selalu membangga-banggakan temuannya itu. Padahal sebenarnya temuan dan pengungkapannya itu sendiri mengandung misteri tersendiri. Bukan tak mungkin, dalam permainan kotor itu dengan maksud tertentu, pihak Tommy lah yang sengaja menyerahkan segala dokumen kepada Baramuli untuk "mengungkapkan" kasus tersebut. Jadi bukan murni hasil kerja keras Baramuli. Pengungkapan itu sendiri merupakan permainan rekayasa tersendiri. Dalam hal ini Baramuli hanya dipakai sebagai alat. Seolah-olah hasil penyelidikannyalah yang berhasil menemukan bobrok tersebut. Bukankah bagaimana caranya sampai Baramuli bisa menemukan dan membongkar skandal tersebut tidak pernah trasparan?

Sebenarnya sebelum Baramuli "dipakai" untuk berperan sebagai pahlawan pembongkar skandal raksasa itu, ada sebuah media cetak nasional (Kompas?) yang dihubungi untuk berperan sebagai pihak yang membongkar skandal tadi. Tetapi entah kenapa, dengan berbagai dalih, media itu menolak. Maka muncullah Baramuli sebagai pahlawan pembongkar skadal.

Seperti layaknya anggota keluaraga Cendana lain. Saham Tommy di Golden Key Group pun merupa saham kosong. Mungkin ini sebagai imbalan dari jasa Tommy yang memuluskankan pengucuran dana kredit (430 juta dollar AS) dari Bapindo tersebut. Tetapi karena Tommy merasa persentase saham (kosong)nya itu terlalu kecil, dia minta tambah. Karena tidak ada kesepakatan. Tommy gusar, dan menjual seluruh sahamnya. Setelah itu dia menyatakan mengundurkan diri. Sebagai balas dendamnya dia akan menghancurklan Golden Key bersama orang-orangnya. Demikianlah beberapa bulan setelah Tommy mundur itulah, tiba-tiba Baramuli muncul sebagai pahlawan yang membongkar skandal tersebut lengkap dengan berbagai dokumen yang mendukung. Dari mana Baramuli bisa tiba-tiba memperoleh dokumen-dokumen itu?

Eddy Tansil bersama para petinggi di Bapindo pun ditangkap dan masuk penjara. Cerita selanjutnya sudah kita ketahui.

Kasus yang mirip dalam skala yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kasus Golden Key adalah kasus pembobolan Bank Perniagaan sebesar Rp. 1 triliun. Menurut keterangan resmi pihak berwajib, Hindoro Halim, pemilik bank yang disangka membobol banknya sendiri itu tewas bunuh diri dengan meloncat dari jendela hotel, ketika digerebek polisi. Isu pun merebak bahwa banyak keganjilan pada peristiwa penggerebekan yang menewaskan Hindoro Halim itu. Ada dugaan Hindoro sebenarnya sengaja dibunuh, karena jika sampai tertangkap dan disidangkan akan banyak nama-nama pejabat tinggi yang keluar dari mulutnya, yang ikut terlibat dalam pembobolan banknya sendiri itu.

Apakah pengungkapan keberadaan Eddy Tansil di Fujian, Cina kali ini hanya merupakan suatu upaya pengalihan perhatian masyarakat dari masalah-masalah sosial-politik sekarang ini? Bisa jadi demikian. Mungkin saja pihak Gempita sendiri tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya telah diperalat oleh pihak-pihak tertentu dengan maksud-maksud tersembunyi di dalamnya. Kita lihat saja bagaimana tingkat keseriusan pemerintah dalam mengungkapkan atau meneruskan penyelidikan tentang hal ini.


sumber :
 http://happyshinigami.wordpress.com/2011/01/19/masih-inget-salah-satu-koruptor-paling-dicari-di-indonesiabelum-ketemu/



ARTIKEL TERKAIT :

Eddy mencencang, Bapindo memikul(16, APRIL 1994)

MENJELANG Eddy Tansil dituntut ke pengadilan, Kejaksaan Agung tampaknya masih harus bekerja lebih keras. Belum lagi tuntas pemeriksaan terhadap 4 tersangka kasus pembobolan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), para jaksa sudah harus siap menerima dua mantan direksi Bapindo yang lain, yaitu Sjahrizal dan Bambang Kuntjoro. Kedua bankir ini, Sabtu pekan lalu, dibebastugaskan sementara dari jabatannya. Sebenarnya, sampai Jumat lalu tak seorang pun di Kejaksaan Agung yang berani memastikan apakah Sjahrizal akan dibawa juga ke Gedung Bundar atau tidak. Sedangkan Bambang Kuntjoro rupanya sudah punya firasat. Beberapa hari sebelumnya, Bambang telah menghubungi Pengacara Denny Kailimang. Sementara itu, Kejaksaan telah menambah masa penahanan 20 hari lagi terhadap tiga mantan pejabat Bapindo (Subekti Ismaun, Towil Herjoto, Maman Suparman) yang disangka terlibat kasus pembobolan Bapindo oleh Eddy Tansil. Alasan perpanjangan masa tahanan itu ialah: Kejaksaan Agung belum puas akan hasil penyidikannya. Ini diungkapkan oleh juru bicara Kejaksaan Agung, Soeparman. Lembaga ini masih mencari bukti-bukti tambahan mengenai pembobolan uang Bapindo sebesar Rp 1,7 triliun. Selasa dan Rabu pekan lalu, misalnya, dua jaksa menggeledah rumah dinas mantan Dirut Bapindo Towil Herjoto di Jalan Widya Chandra VII, Jakarta. Yang dicari adalah bukti penyerahan uang Rp 500 juta dari Eddy Tansil kepada Towil. Sayang, tanda terima itu tidak ditemukan. Lalu yang disita adalah surat-surat kendaraan keluaran tahun 1990 (Honda Civic dan Fiat Uno). Menurut sumber TEMPO, sebuah peternakan kuda milik Towil di Pati (Jawa Tengah) serta sebuah rumah di Puri Cinere (Jakarta Selatan) juga akan disita. Memang, kabarnya, ada sekitar US$ 125 juta yang telah dibagi- bagikan Eddy Tansil. Sebuah kopi surat kepada Jaksa Agung Singgih bertanggal 20 Maret 1994 menyebutkan bahwa Eddy telah membagi sekitar US$ 125 juta kepada sejumlah pejabat, US$ 40 juta di antaranya khusus untuk para direktur Bapindo. Sahih atau tidaknya laporan ini tentu masih harus dibuktikan. Menurut penyidikan Kejaksaan, dana Bapindo yang digondol Eddy berjumlah US$ 436.515.000 atau sekitar Rp 940 miliar, belum termasuk bunga dan provisi. Dari hasil penyidikan itu juga diketahui bahwa perusahaan Golden Key Group (GKG) milik Eddy ternyata telah menerima pinjaman dari BNI (US$ 136 juta dan Rp 101 miliar), Bank Exim (US$ 87 juta dan Rp 8,9 miliar), serta dari BDN (Rp 155 miliar). Kalau dijumlahkan, maka dana dari empat bank pemerintah yang masuk ke kocek Eddy Tansil, seluruhnya hampir mencapai Rp 1,7 triliun. Kredit-kredit itu dikucurkan untuk empat perusahaan milik Eddy, yakni PT Graha Swakarsa Prima, PT Pusaka Warna Polypropylene, PT Hamparan Redjeki, dan PT Dinamika Erajaya. Dewasa ini penyidikan Kejaksaan dipusatkan pada pembobolan Bapindo saja. Bila dikaji lagi, maka semakin jelaslah bahwa bencana itu terjadi selain karena kolusi, juga karena kebobrokan Bapindo sendiri. Adapun pengucuran dana Bapindo terjadi secara bertahap, dan dalam garis besar, urut-urutan kejadiannya adalah sebagai berikut. Setelah tidak berhasil mendapatkan kredit Bapindo sejak tahun 1987, maka pada bulan Juni 1989 Eddy menemui Subekti Ismaun (Dirut Bapindo) dan Towil Herjoto (Direktur Kredit Bapindo). Saat itu ia membawa memo dari Menko Polkam Sudomo, untuk permohonan kredit bagi proyek Golden Key Petrokimia. Permohonan itu rupanya langsung ditanggapi positif. 16 Juni 1989 Eddy sudah mengajukan permohonan usance L/C sejumlah US$ 125,5 juta untuk PT Graha Swakarsa Prima (GSP). Namun, Bapindo belum bergerak sehingga Eddy membuat surat lagi tanggal 25 September 1989. Sehari kemudian, Direksi Bapindo setuju membuka usance L/C tanpa lebih dulu membahas kelayakan proyek. Keputusan yang ceroboh ini bisa disebutkan sebagai pelanggaran pertama atas prosedur kerja bank yang baku dan lazim berlaku. Hanya, tak terungkap siapa saja direksi yang hadir dan memutuskan saat itu. 26 Desember 1989. Direksi Bapindo me nyetujui pembukaan usance L/C sebesar US$ 40 juta di kantor cabang Jakarta. Syaratnya: Eddy harus menyerahkan kontrak asli dengan Lucky Eng. Division Hongkong membuka deposito wajib Rp 3,6 miliar di Bapindo dan membayar provisi 1/8%. Di sini terjadi pelanggaran kedua. Kendati syarat-syarat tadi belum dipenuhi, Kepala Bapindo Kantor Cabang Jakarta, Maman Suparman, sudah membuka usance L/C. Alasan Maman, karena ia ditegur Towil dan dinilai lambat melakukan tugasnya. Mungkin karena pengalaman tak sedap itu, maka pada 5 Februari 1990 Maman kembali mengubah usance L/C menjadi red clause L/C senilai US$ 12,4 juta untuk PT GSP tanpa persetujuan kantor pusat Bapindo. Entah mengapa, pada 22 Februari 1990 direksi Bapindo menyetujui tindakan Maman. Pagu kredit red clause L/C ditentukan Rp 249,4 miliar, bahkan lebih gila lagi, plafon kredit diperbesar hingga US$ 474,6 juta. Itu untuk biaya proyek-proyek PT GSP, Pusaka Warna Propelene, dan Pusaka Warna Polyetelene. Sejak itu lapanglah jalan bagi Eddy Tansil untuk membobol Bapindo. Kebetulan, Maman Suparman mudah diajak bekerja sama. Kepala Cabang Jakarta ini lancang mengambil keputusan sendiri karena sekitar April 1990 kantor Bapindo cabang Jakarta sedang mengalami transisi akibat dipecah menjadi dua kantor cabang. Sambil menunggu penggantinya, Indra Rastiko, serta Wakilnya, Otto Sampo, Maman tampil sebagai penguasa tunggal di kantor cabang baru Jalan Rasuna Said, Jakarta. Setelah sukses memperalat Maman dengan mengubah usance L/C menjadi red clause L/C, Eddy kemudian memperalat Maman lagi dengan menyuruhnya mengubah nama beneficiary alias penerima kredit Bapindo. Lalu, jatah L/C untuk Lucky Engeneering diperkecil dari US$ 75 juta menjadi US$ 28 juta. Sementara itu, jatah L/C untuk pemasok lokal, yang semula US$ 50 juta, diperbesar menjadi US$ 97 juta. Dengan demikian, pencairan kredit lebih banyak dinikmati oleh kontraktor lokal, yakni PT Metarindo yang ternyata milik Eddy Tansil sendiri. Karena tak mau tanggung-tanggung, rupanya Eddy juga berhasil membelokkan jatah L/C untuk Lucky Engineering (Korea Selatan) ke beneficiary yang bernama Golden Step Development di Hong Kong. Seperti sudah sering diberitakan, perusahaan ini adalah milik Eddy Tansil, yang ketika dicek oleh Bapindo cabang Hong Kong ternyata sudah lenyap tak berbekas. Selama periode dari 5 Februari 1990 hingga 26 Mei 1993 Eddy telah menjual bank acceptance atas nama Bapindo sebanyak US$ 436,516 juta atau 92% dari plafon kredit untuk Golden Key Group. Barulah dua tahun kemudian, persisnya 28 April 1992, praktek kongkalikong tadi ketahuan. Kepala Urusan Pengawasan kantor pusat Bapindo, Johanes Djijo, menemukan bahwa minimal ada 6 kesalahan dalam penyaluran kredit untuk Golden Key. "Prosedur kredit tidak sesuai dengan ketentuan. Perubahan usance menjadi red clause L/C tanpa persetujuan tertulis dari kantor pusat. Tidak ada cash colateral. Rekening administrasi tidak memuat jumlah akseptasi yang diberikan kepada GKG. Bukti asli pesanan barang tidak diserahkan," begitu laporan Djijo kepada Dirut Bapindo, Subekti Ismaun. Subekti lalu memerintahkan Direktur Bambang Kuntjoro mengecek laporan Djijo. Bambang menugasi asistennya, Machwi. Hasil laporan Machwi ternyata sama dengan penemuan Djijo dan disampaikan ke Subekti, 22 Mei 1992. 2 Juni 1992. Rapat direksi (Bambang Kuntjoro, Sjahrizal, Adhi Sugondo) memutuskan tidak akan menerbitkan bank acceptance tambahan untuk GKG. Anehnya, malam 2 Juni juga, keputusan itu dibatalkan. Langkah ini konon ditempuh setelah Sjahrizal dimarahi Dirjen Moneter dan disuruh menghadap Menteri Keuangan. Lalu Eddy boleh menjual bank acceptance sebatas plafon usance L/C yang telah dibuka. 16 Juni 1992. Direksi kembali mengadakan rapat untuk membicarakan keputusan 2 Juni malam. Direktur Utama Subekti Ismaun memimpin rapat, dihadiri Bambang Kuntjoro, Sjahrizal, dan Towil Herjoto. Rapat mengesahkan keputusan 2 Juni malam (Eddy boleh mencairkan seluruh kredit). Hampir setahun kemudian, Mei 1993, Eddy berhasil menarik 92% dari pagu kreditnya (US$ 474,6 juta). Ke mana saja Eddy menyalurkan uang sebanyak itu belum bisa sepenuhnya dilacak. Dari pengusutan tim khusus kejaksaan diketahui bahwa dana itu antara lain dipergunakan untuk menutup utang Eddy Tansil di BBD (US$ 19 juta), dan membuka deposito di beberapa bank, antara lain Bank Namura (Rp 17 miliar). Bagaimana dengan proyek? Ternyata PT GSP baru siap 30%, sedangkan dua proyek (propylene dan ethylene) di PT Pusaka Warna masih belum apa-apa. Sejak pertengahan 1993 Bapindo berkali-kali memanggil Eddy Tansil untuk dimintai pertanggungjawaban, tapi buaya Pecenongan ini selalu menghindar. Barulah pada 28 September 1993 Eddy membuat laporan lisan di Bapindo bahwa uang muka (bank acceptance) telah digunakan untuk proyek dan deposito di Bank Danamon sebesar Rp 11 miliar. Toh, ketika diminta menandatangani perjanjian akad kredit, Eddy menolak. Ia justru minta kredit baru sebesar US$ 500 juta. Dua minggu kemudian, 12 Oktober 1993, Bapindo mengancam akan mempidanakan Eddy pada Kejaksaan Agung. Lalu, 13 Oktober 1993, Bambang Kuntjoro dan asistennya, A.R. Boute Usman, melapor kepada Sudomo di Kantor Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Dilaporkan bahwa Bapindo bersedia membantu Eddy merampungkan proyek, tapi Eddy kelihatannya tidak terbuka, dalam arti tidak bersedia memberi pertanggungjawaban. Tanggapan Sudomo cukup positif. Kata Sudomo, Eddy sudah dibinanya sejak muda. Eddy pernah kembali ke RRC sehingga mendapat banyak koneksi dan berhasil mengumpulkan banyak uang. Sudomo lalu mengajak Eddy menanamkan uang di Indonesia. Untuk membantu realisasi proyek Eddy, Sudomo kabarnya mengatakan bahwa Eddy mendapat dukungan Sumarlin (Menteri Keuangan) dan Nasrudin Sumintapura (Menteri Muda Keuangan). Sehari kemudian, 14 Oktober 1993, Sudomo memanggil Eddy dan disuruh membuat pertanggungjawaban. 21 Oktober 1993. Bambang Kuntjoro dan A.R.B. Usman kembali menghadap Sudomo, melaporkan perihal GKG dan berterima kasih karena Sudomo telah meminta pertanggungjawaban Eddy. Dilaporkan juga bahwa tim Bapindo telah mengecek ke lokasi proyek, dan ternyata realisasi pembangunan masih jauh dari memuaskan. Administrasi pembukuan Eddy semrawut, tapi tawaran Bapindo -- untuk menata -- ditolaknya. Bapindo sekali lagi mengemis agar Sudomo membujuk Eddy, untuk diperiksa pembukuannya. Bapindo juga menawarkan pihak ketiga untuk mengambil alih manajemen perusahaan Eddy. Sudomo menyambut baik semua usul tersebut. Tapi hingga 26 Oktober 1993 Eddy tetap menolak semua usul Bapindo. 8 Desember 1993. Bambang Kuntjoro, Achmad Marzuki, A.R.B. Usman kembali mengadakan rapat dengan Sudomo di DPA. Di situ lagi-lagi Bapindo minta bantuan Sudomo agar Eddy membuat laporan tertulis, dan mesti menyiapkan dana sendiri minimal 35%. Sudomo setuju atas syarat-syarat itu, tapi tampaknya tak banyak lagi yang bisa diselamatkan dari uang Rp 1,7 triliun yang terlanjur menguap itu. Lalu, entah bagaimana, skandal Eddy-Bapindo pun menyusup ke gedung DPR. Dan pada awal Februari 1994 Arnold Baramuli membuka kasus itu di DPR yang bermuara pada 16 Februari 1994, ketika Eddy Tansil diciduk oleh pihak Kejaksaan.

sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1994/04/16/EB/mbm.19940416.EB148.id.html

Blog Tugas Saya



NAMA          : Karnoto Pujianto
NPM              : 12209353
Fakultas        : Ekonomi
Jurusan         : Manajemen
Universitas   : Gunadarma

silahkan cari entri yang anda tuju